BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Tidak ada yang meragukan, fakta fisik menunjukan
wilayah pesisir dan lautan Indonesia dengan luas areal mencakup 5,8 juta km2
kaya dengan beragam sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam tersebut terbagi dua, adalah
: pertama sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources),
seperti : sumberdaya perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), mangrove dan
terumbu karang, dan kedua sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources), seperti : minyak
bumi, gas dan mineral dan bahan tambang lainnya. Selain menyediakan dua
sumberdaya tersebut, wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi,
seperti : transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan
agroindustri, jasa lingkungan, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan
permukiman dan tempat pembuangan limbah.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan oleh bangsa
Indonesia telah dilakukan sejak berabad-abad lamanya, sebagai salah satu sumber
bahan makanan utama, khususnya protein hewani. Sementara itu, kekayaan minyak
bumi, gas alam dan mineral lainnya yang terdapat di wilayah ini telah
dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
memiliki sebanyak 17.508 pulau (pulau
besar dan kecil) dengan kekayaan lautan yang luar biasa
besar dan beragam. Salah satunya adalah pulau Madura, khususnya di Desa Beluk
Raja yang memiliki banyak potensi perikanan yang bisa dikembangkan guna
menopang perekonmian masyarakat. Maka sudah seharusnya pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan lautan dikelola dengan baik dan optimal untuk menunjang pembangunan
ekonomi nasional dalam rangka mengatarkan bangsa ini menjadi makmur, adil dan
sejahtera. Bertitik tolak dari
permasalahan tersebut kegiatan praktek kerja lapang (PKL) Universitas Wiraraja
Sumenep ini difokuskan pada kajian identifikasi
potensi agroindustri kawasan pesisir.
1.2.
Tujuan
PKL
Adapun
tujuan pelaksanaan PKL ini adalah
sebagai berikut :
a1. Untuk
mengetahui potensi agroindustri yang ada di wilayah pesisir tepatnya di Desa Beluk Raja.
b2.
Untuk mengetahui permasalahan utama yang
dihadapi oleh para pelaku agroindustri petis yang ada di Desa Beluk Raja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agroindustri
2.1.1. Pengertian Agroindustri
Agroindustri
berasal dari dua kata, adalah agricultural
dan industri yang berarti suatu industri yang menggunakan
hasil komuditi pertanian sebagai baham baku utamanya. Definisi agroindustri
dapat dijabarkan sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil komoditi
pertanian sebagai bahan baku yang dapat diolah menjadi produk yang mempunyai
nilai tambah serta mempunyai manfaat lebih dari hasil komoditi pertanian sebelumnya.
Agroindustri adalah
adalah kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, sehingga
didalam perkembangannya berkaitan erat dengan sektor pertanian.
Agroindustri merupakan industrialisasi di bidang pertanian dalam rangka
peningkatan nilai tambah dan daya saing produk
pertanian.
(Soeharjo, 1991)
Agroindustri dapat
berjalan secara berdampingan dengan proses pembangunan nasional berkelanjutan
yang dapat memberikan dampak dan pencapaian pada pembangunan nasional, seperti
masalah kemiskinan, kesempatan bekerja, pengangguran. (Soekartawi, 2000)
Dari penjabaran diatas,
dapat dikatakan agroindustri adalah sebuah revolusi dari pengolahan hasil
pertanian dengan memberikan nilai tambah untuk menyukseskan pertanian.
2.1.2. Prinsip-prinsip
Agroindustri Pengolahan
Wibowo (1997)
mengemukakan perlunya pengembangan
agroindustri di
pedesaan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip
dasar
diantaranya:
a. Memacu
keunggulan
kompetitif
produk/komoditi
serta
komparatif
setiap
wilayah;
b.
Memacu peningkatan
kemampuan
suberdaya
manusia
dan
menumbuhkan
agroindustri yang
sesuai dan mampu dilakukan di wilayah
yang dikembangkan;
c.
Memperluas wilayah sentra-sentra
agribisnis
komoditas
unggulan yang nantinya
akan
berfungsi
sebagai
penyandang
bahan
baku yang
berkelanjutan;
d.
Memacu pertumbuhan
agribisnis
wilayah
dengan
menghadirkan
subsistem-subsitem
agribisnis;
e.
Menghadirkan berbagai sarana pendukung
berkembangnya industri.
2.1.3. Tujuan Dan sasaran Agroindustri
Pengolahan
Tujuan
yang ingin dicapai dalam
pengembangan
agroindustri
perdesaan
adalah
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat perdesaan melalui upaya
peningkatan
nilai
tambah
dan
daya
saing
hasil pertanian. Untuk
mewujudkan
tujuan
tersebut, pengembangan
agroindustri
perdesaan
diarahkan
untuk:
a. Mengembangkan klusterindustri,
adalah industri pengolahan yang
terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya;
b. Mengembangkan industri
pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah
dan besar, dan
c. Mengembangkan industri
pengolahan yang punya daya saing tinggi untuk
meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri (www.litbang.deptan.go.id diakses tanggal
9 November 2009).
2.2. Kawasan Pesisir
Perairan pesisir
adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat dapat meliputi bagian daratan,
baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut,
seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Ke arah laut, perairan
pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi
dan aliran air tawar. Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu
pengertian bahwa ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis
dan mempunyai kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling
berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan
ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan
pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap
ekosistem perairan pesisir (Dahuri et al., 1996).
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini
masih belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat
kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan
antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line),
maka wilayah pesisir mempunyai 7 dua macam batas (boundaries) adalah batas yang
sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai
(cross shore). Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah
pesisir ditetapkan dalam dua macam, adalah wilayah perencanaan (planning zone)
dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan
keseharian (day-to-day management).
Dari
pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa wilayah
pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran antara
daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana pada
umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya
kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang
potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas
nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayalan yang
letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di daerah pesisir yang landai
dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya
di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam,
wilayah pesisirnya akan sempit. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 Tentang batasan
wilayah pesisir, kearah daratan mencakup wilayah administrasi daratan dan kearah
perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan.
Ekosistem
wilayah pesisir dan lautan dipandang dari dimensi ekologis memiliki 4
fungsi/peran pokok bagi kehidupan umat manusia adalah (1) sebagai penyedia
sumberdaya alam sebagaimana dinyatakan diatas, (2) penerima limbah, (3) penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan manusia (life
support services), (4) penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenity services)
(Bengen, 2001). Karateristik pantai secara geomorfologi menurut Hantoro (2004)
adalah Pantai curam singkapan batuan, pantai landai atau dataran, pantai
dataran endapan lumpur, pantai dengan bukit atau paparan pasir, pantai lurus
dan panjang dari pesisir datar, pantai dataran tebing karang, pantai erosi,
Pantai akresi. Karakteristik Ekosistem
di perairan laut dangkal pada umumnya seperti terumbu karang, padang lamun, dan
hutan mangrove pada dasarnya dilindungi seperti pada tertera di dalam UU
No.32/2009 dan UU No. 5/1990.
Batas wilayah
perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat kegiatan
manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap
lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah
perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan. Dalam day-to-day management,
pemerintah atau pihak pengelola memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan
atau menolak izin kegiatan pembangunan. Sementara itu, bila kewenangan semacam
ini berada di luar batas wilayah pengaturan (regulation zone), maka akan
menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelola wilayah pesisir dalam
regulation zone dengan instansi/lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut
lepas.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Diskripsi Wilayah
3.1.1. Keadaan Geografis
Berdasrkan keadaan geografis seluruh wilayah Desa
Beluk Raja meliputi areal seluas 3.18 , berada pada
ketinggian 20 meter dari permukaan air laut dan merupakan desa pantai. Yang
terdiri dari dua jenis tanah adalah tanah sawah seluas 5,00 hektar dan tanah
kering seluas 312,64 hektar..
Desa Beluk Raja terdiri dari 4 dusun, 6 RW dan 19 RT.
Adapun batasan wilayah Desa Beluk Raja adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara :
Laut Jawa
- Sebelah selatan : Desa Batu Belah Barat dan Sema’an
- Sebelah Timur : Desa Slopeng
- Sebelah Barat : Desa Beluk Kenik
3.1.2. Keadaan Pertanahan
Desa Beluk Raja
memiliki luas tanah seluas 3,18 hal ini terdiri dari berbagai penggunaan tanah
diantaranya: pemukiman dan pekarangan, pertanian dan tegal, kehutanan dan
perkebunan, peternakan, bangunan umum,
jalan dan jalur hijau, kuburan dal lain-lain. Untuk lebih jelasnya lihat
tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Penggunaan tanah Desa Beluk Raja Kecamatan
Ambunten,
Kabupaten Sumenep tahun 2015
Sumber
: Kecamatan Ambunten Dalam Angka 2014
Dari tabel diatas
menunjukkan bahwa penggunaan lahan tegal, perkeabunan, ladang dan huma mempunyai
luas sebesar 215,78 ha. Hal ini menunnjukkan potensi pertanian lebih dominan
dari yang lainnya. Maka usaha tani di Desa Beluk Raja bagus untuk dilakukan.
Selain itu potensi perikanan juga memiliki potensi yang cukup besar untuk Desa
Beluk Raja adalah sebagai penyedia bahan baku agroindustri petis.
3.1.3. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Jumlah penduduk
Desa Beluk Raja tercatat sebesar 2.918 jiwa pada tahun 2014, yang terdiri dari
laki-laki sebanyak 1.363 jiwa dan perempuan sebanyak 1.555 jiwa. Adapun
komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Distribusi jumlah penduduk Desa Beluk Raja
menurut jenis
kelamin tahun 2015.
Sumber
: Kecamatan Ambunten Dalam Angka 2014
Dari tabel diatas
dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di Desa Beluk Raja adalah 2.918, dengan
jumlah laki-laki 1.363 jiwa dan jumlah perempuan 1.555 jiwa. Hal ini merupakan
potensi bagi perkembangan agroinustri petis yng umumnya didominasi oleh kaum
perempuan. Dengan demkian, hal ini dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
3.1.4. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pedidikan
Tingkat
pendidikan di Desa Beluk Raja masih terbilang sangat rendah.hal ini terlihat
dari perbandingan antara penduduk yang belum tamat SD/sederajad dengan yang
tamat SD/sederajad. Masih lebih besar yang belum tamat SD.untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
tabel 3. Banyaknya penduduk menurut jenjang pendidikan
yang
ditamatkan tahun 2015
Sumber
: Kecamatan Ambunten Dalam Angka 2014
Dari tabel diatas
dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Desa Beluk Raja masih rendah. Hal ini
yang akan mempengaruhi terhadap kualitas sumber daya manusia dalam pengambilan
keputusan maupun dalam perencanaan untuk menjalankan usahanya. Keterampilan yang dimiliki hanya
berdasarkan pengalaman, dimana keterampilan tersebut bila ditunjang dengan
pendidikan yang memadai akan lebih tanggap denga datangnya tehnologi baru yang
dapat meningkatkan usahanya.
3.1.5. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Mata pencaharian
penduduk di Desa Beluk Raja sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Untuk lebih jelasnya
dapat dilhat dalam yabel di bawah ini:
Tabel 4. Distribusi jumlah penduduk Desa Beluk Raja Menurut
Mata
Pencaharian Tahun
2015.
Sumber
: Kecamatan Ambunten Dalam Angka 2014
Dari data diatas
dapat dilihat bahwa pendduk yang bermata pencaharian perikanan lebih dominan.
Dengan demkian dapat dismpulkan bahwa di Desa Beluk Raja Kecamatan Ambunten
Kabupaten Sumenep masih mengandalkan sektor perikanan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Serta untuk memenuhi ketersediaan bahan baku lokal dari usaha
agroindustri petis yang berkembang di Desa Beluk Raja tersebut.
3.2. Diskripsi Potensi Agroindustri
Kecamatan
Ambunten terletak di pesisir utara pulau Madura, berbatasan dengan Kecamatan
Pasongsongan dan Dasuk. Kecamatan Ambunten merupakan salah satu penghasil ikan
tangkap dan pengolah ikan di Kabupaten Sumenep. Potensi perikanan tangkap
sangat besar. Terdapat tiga daerah sentra perikanan, adalah di Desa Ambunten
Tengah, Timur dan Desa Beluk Raja. Di Desa Beluk Raja Ada sebanyak 485 nelayan,
serta 1 tempat pelelangan ikan (TPI). Pemasaran hasil pengolahan ikan tersebar
hampir di berbagai wilayah pulau Madura. Dengan besarnya potensi perikanan,
maka pengolahan ikan juga besar potensinya.
Pengolahan ikan
merupakan aktifitas yang sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat Desa
Beluk Raja. Sistem pengolahan yang digunakan sampai saat ini mayoritas
menggunakan cara lama seperti menggunakan bahan bakar kayu atau kompor gas,
dengan sedikit perubahan peralatan yang digunakan. Salah satu hasil pengolahan
ikan di Desa BelukRaja adalah petis.
Petis merupakan komoditi hasil
pengolahan ikan yang cukup dikenal, terutama didalam masyarakat di Pulau Jawa,
dan biasa digunakan lauk pauk atau campuran makanan rakyat yang khas.
Petis berasal dari cairan tubuh
ikan yang telah terbentuk selama proses penggaraman kemudian diuapkan melalui
prose perebusan lebih lanjut sehingga menjadi larutan yang lebih padat seperti
pasta.
Sarana dan prasarana di Desa Beluk Raja masih sangat terbatas, baik dari segi infrastruktur,
kapasitas maupun higienitas. Akses jalan menuju lokasi agroindustri lumayan
lancar meskipun dibeberapa titik ada jalan-jalan yang berlubang dan perlu
perbaikan namun hal itu tidak akan menjadi penghambat baik bagi konsumen yang
hendak membeli maupun kelancaran dari
distribusi petis. Untuk peralatan usaha pemindang ikan yang sangat diperlukan
adalah bangunan, Kompor gas, tungku pemasak, mobil, besek, garam. Kualitas air
yang digunakan kurang higienis, selain itu perilaku pekerja dalam bekerja juga
kurang higienis. Pengusaha tidak bisa
menjamin higienitas karena para pekerja atau karyawannya cukup enggan bekerja
dengan higienis karena cukup repot. Untuk air perebusan misalnya, seharusnya
diganti setiap 2 kali, namun pekerja enggan mengganti sehingga mereka seharian
tidak mengganti air perebusan, hanya menambah. Kurag higienitas didalam pengolahan
juga karena ada kondisi pasar penjualan yang kurang higiensi.
Teknologi yang digunakan
terbilang masih sederhana. Mereka menggunakan bahan bakar kayu yang saat ini
bisa diterima pekerja, sedangkan gas kurang diterima. Biaya produksi dari kayu
lebih murah dari gas, namun nyala api yang besar disukai oleh pekerja. Saat ini
bagi pelaku usaha petis belum ada teknologi kompor gas yang sesuai, karena belum ada yang berhasil
mencobanya, ada yang pernah menggunakan gas namun hasilnya tidak maksimal.
Untuk pembungkus petis mereka menggunakan wadah plastic yang bervolume 0.3 kg.
Tenaga kerja yang digunakan
bukankah tenaga kerja terampil, karena ketrampilan yang digunakan diperoleh
secara turun temurun. Tenaga kerja ada yang membersihkan, memasak dan angkut,
biasanya perempuan merupakan tenaga pembersihan dan memasak sedang laki-laki tenaga
angkutan, jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak, salah satu pelaku
agroindustri petis adalah Hj. Sulaiha. Dia memiliki 2 orang pekerja pemindang,
1 pemasak. Namun para pekerjanya dari keluarganya sendiri bukan tenaga kerja
dari luar. Hal tersebut juga berlaku pada sema pelaku agroindustri petis yang
ada di Desa Beluk Raja Kecamatan Ambunten.
Keunggulan petis yang
diproduksi oleh masyarakat Desa Beluk Raja adalah terletak pada kualitas rasa
yang tidak bisa diproduksi oleh daerah lain, yang dikenal dengan sebutan petis
pancetan. Hal ini dikarenakan petis masyarakat Desa Beluk Raja terbuat dari
sari pati asli ikan layang yang dimasak sampai mengental dan tanpa penambahan
bahan lain lagi. Buka hanya itu daya tahan petis pancetan ini bisa sampai
setahun lebih tanpa bahan pengawet. Faktor itulah yang membuat petis pancetan harganya
melambung dan juga sangat dikenal di masyarakat Sumenep.
3.3. Pembahasan
Pada dasarnya hasil
tangkapan laut yang berupa ikan, udang dan lain sebagainya merupakan salah satu
sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi mayarakat. Namun hasil tangkap
laut tersebut biasanya cepat mengalam proses pembusukan oleh sebab itu
pengawetan hasil angkap laut perlu dketahui oleh semua lapisan mayarakat.
Di Indonesia terdapat 9
jenis perlakuan yang bisa dilakukan oleh terhadap hasil tangkapan selain
lansung dikonsmsi dalam keadaan segar. Perlakuan tersebut terdiri dari :
pendinginan (chilling) baik dengan es,
air dingin, air laut dingin atau dengan pendinginan mekanis, pembekuan (freezing), penggaraman (salting) termasuk pemindangan,
pengalengan, pengasapan (smoking), pengemasan
(packaging), dan pengeringan (drying). Pembuatan hasil olahan khusus
misalnya bakso ikan, abon ikan dan segala masakan dari ikan dan hasil olahan
sampingan misalnya petis, krupuk, tepung ikan, minyak ikan dan lain sebagainya.
Produk petis merupakan
hasil dari pengolahan sampingan dari hasil tangkapan laut khususnya ikan yang
diolah dengan beberapa perlakuan adalah penggaraman (salting) yang berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan bakteri
phatogen atau bakteri berbahaya sekaligus sebagai bahan pengawet. Pemanasan
yang berfungsi untuk menghilangkan kadar air yang tidak dibutuhkan sehingga
akan membentuk adonan seperti pasta. Pengemasan (packaging) merupakan proses ahir setelah itu produk petis siap
untuk dipasarkan.
Secara umum pengembangan industri
pengolahan hasil laut (agroindustri) memiliki beberapan kelemahan diantaranya:
1.
Harga bahan baku tinggi, terutama untuk bahan baku
industri petis saat sedang tidak musim ikan.
2.
Bahan baku ikan tidak dapat disuplai secara
kontinyu dengan volume yang tidak menentu, hal itu disebabkan oleh pengaruh
musim yang tidak bisa diprediksi sebelumnya.
3.
Kualitas bahan baku tidak seragam, hal ini
dipengaruhi oleh keadaan perairannya.
Berdasarkan pengamatan di
lapangan dan data-data pendukung diketahui bahwa Permasalahan yang dihadapi agroindustri
petis di Desa Beluk Raja adalah Bahan Baku.
Keterbatasan suplai bahan baku
dan penolong untuk industri pengolahan petis sering terjadi. Sehingga
membuat para pelaku agroindustri petis seringkali tidak berproduksi dan membuat
konsumen yang ingin membeli harus menunggu lama untuk bisa mendapatkan petis
pancetan tersebut. Hal ini dikarenakan bahan baku yang digunakan dalam
agroindustri petis bersifat musiman. Namun para pelaku agroindustri petis
enggan untuk melakukan pengadaan bahan baku dari daerah lain karena biayanya
lebih mahal dan juga kualitas rasa dari ikan layang yang dihasilkan di perairan
Beluk Raja lebih enak dari pada yang dihasilkan di daerah lain. Tentunya akan
berakibat pada kualitas produk petis yang akan dihasilkan dan juga penghasilan
yang akan mereka terima nanntinya. Maka dari itu para pelaku agoindustri petis
di Desa Beluk Raja lebih memilih untuk tidak berproduksi saat sedang tidak lagi
musim ikan.
Sedangkan musim tangkap
ikan layang hanya selama tiga bulan selama setahun adalah terjadi pada bulan
juli sampai September. Pada saat musim ikan layang hasil tangkapan nelayan
sangat melimpah sehingga menyebabbkan harga ikan layang murah. Harganya bisa
mencapai Rp. 20.000 per basket (volume 14kg-15kg). Keadaan inilah yang
dimanfaatkan oleh para pelaku agroindustri petis untuk meraup keuntungan
banyak. Dengan harga bahan baku yang hanya Rp. 20.000 per basket, bisa
memperoleh omset sampai Rp. 110.000 per 30kg ikan layang.
Menurut pendapat beberapa
pelaku agroindustri petis, mengatakan bahwa harga bahan baku yang layak untuk
dijadikan petis adalah dengan harga kurang dari Rp. 200.000,- per basket. Jika
harganya diatas Rp. 200.000,- per basket maka para pelaku agroindustri petis
tersebut memilih untuk tidak berproduksi, melainkan hanya dipindang dan dijual ikannya
saja, sedangkan untuk airnya dibuang. Jika tetap dilakukan pengolahan menjadi
petis tentu akan rugi sebab biaya yang dikeluarkan membengkak.
Ikan layang yang dijadikan
sebagai bahan baku petis di Desa Beluk Raja memiliki kualitas dan rasa yang
berbeda dengan ikan layang dari daerah lain khususnya di Kecamatan Ambunten. Hal
ini disebabkan oleh spesies, umur, jenis kelamin dan musim penangkapan serta
ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungannya, yang berdampak
pada kandungan protein dan mineral daging ikan layang di Desa Beluk Raja
relatif konstan, tetapi kadar air dan kadar lemak sangat berfluktuasi. Sehingga
menjadikan ikan layang di daerah pesisir Beluk Raja mempunyai kualitas yang
baik serta rasa yang enak.
Ditambah lagi pada proses
pembuatan petis berbahan baku ikan layang ini tidak ditambahkan campuran bahan
lain lagi dalam proses pembuatannya, murni dari cairan ikan layang yang di
pindang tadi. Berbeda dengan produk olahan petis yang dihasilkan di daerah
lainnya khususnya di Kecamatan Ambunten, yang berbahan baku ikan tongkol.
Dimana ada pemberian gula dalam proses pembuatan petis yang dapat mempengaruhi
kandungan protein, aktivitas air dan jumlah mikroba. Selama proses pengolahan
tersebut petis dapat mengalami kerusakan protein karena adanya reaksi antar
protein dan gula preduksi. Semakin banyak jumlah gula yang ditambahkan, kadar
protein pada petis ikan tongkol akan
menurun (SNI 01-2346-2006). Hal itulah yang menyebabkan petis yang dihasilkan
oleh masyarakat Desa Beluk Raja mempunyai kualitas yang baik dengan kadar
protein yang cukup tinggi yang membuatnya menjadi petis yang istimewa dan
bernilai jual tinggi.
Sebagai dampak dari
keterbatasan bahan baku ikan layang yang sifatnya musiman, akibatnya jangkauan
pemasaran petis ikan tersebut terbatas, hanya memenuhi pesanan dari para
pelanggan seperti biasanya.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian
yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.
Agroindustri yang berpotensi untuk dikembangkan di
Desa Beluk Raja adalah agroindustri petis. Petis yang dihasilkan oleh masyarakat
Desa Beluk Raja memiliki ciri khas tersendiri adalah cita rasa yang enak yang
tidak ditemukan pada produk petis daerah lain sehingga akan mempermudah proses
pengembangan nantinya.
2.
Ada beberapa kendala yang dialami oleh para pelaku
agroindistri petis yang ada di Desa Beluk Raja adalah terkendala di dalam
pengadaan bahan baku karena sifatnya yang musiman dan dampaknya pada pemasaran.
3.2.
Saran
Berdasarkan data yang
diperoleh dilapangan, maka saran yang dapat diberikan demi kemajuan usaha
agroindustri petis di Desa Beluk Raja adalah jika para pelaku agroindustri
petis memiliki modal, hendaknya pada saat musim ikan (sebagai bahan baku), maka
diharapkan untuk memproduksi petis dalam jumlah besar untuk dijual disaat bukan
musim ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Danitasari, S. M. 2010. Karakterisasi
Petis Ikan dari Limbah Cair Hasil
Perebusan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Skripsi.
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Fattah, M.A.
1986. Pengaruh Proses dan Bahan yang Digunakan
Terhadap Mutu
Petis Udang Jawa Timur Berdasarkan Nilai Gizi
yang
Dikandungnya. Pusbinlat Industri. Bogor. Diakses tanggal 26
Mei 2015
Muhammad,2012. Defenisi Agroindustri,
http://muhammadiqbale.blogspot.com/2012/06/apa-ituagroindustri.html, diakses pada tanggal
24 Mei 2015.
Jurnal Ilmu Pertanian dan
Perikanan Desember 2012 Vol. 1 No.1
Hal :
9-16 ISSN 2302-6308. Diakses
tanggal 26 Mei 2015.
Sakti, Arrs. 2009. Ikan. http://smartsains.google.com/2008/06/anatomi danbiologi-ikan.html.
Diakses tanggal 29 Mei 2015.
Sari, dkk .2015. Jurnal
Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 2 p.381-389,
April 2015.diakses tanggal
10 Juni 2015.
Suprapti, L. 2001.
Teknologi Tepat Guna Membuat Petis. Kanisius.
Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar